Polisi Tempati Urutan ke Dua Kekerasan Jurnalis

SuaraBanyuurip.comAli Imron

Tuban – Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dalam peringatan World Press Freedom Day 2016 mengingatkan terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Terhitung mulai Mei 2015-April 2016, terjadi 39 kasus kekerasan pada jurnalis dalam berbagai bentuk , mulai pengusiran, pengerusakan alat, hingga kekerasan fisik.

Dari jumlah tersebut sangat ironis karena polisi menempati urutan yang kedua dalam melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalistik.

“Khusus di Tuban sejak tahun 2014 ada dua kasus kekerasan terhadap jurnalis lokal,” kata Koordinator AJI Bojonegoro cabang Tuban, Khoirul Huda, kepada Suarabanyuurip.com, ketika dikonfirmasi melalui teleponnya, Rabu (4/5/2016).

Kekerasan tersebut dialami oleh M.Mutohar jurnalis Beritajatim.com, oleh satuan kepolisian Polres Tuban, kemudian Sapuan jurnalis TV mendapat tindakan represif dari Kodim setempat.

“Kedua institusi keamanan tersebut kami kirimi Somasi, kedua pimpinannya langsung dipindah tugaskan,” kata jurnalis senior yang saat ini masih menjabat sebagai ketua Ronggolawe Pers Solidarity (RPS) Tuban ini.

Secara Nasional, AJI Indonesia mencatat 39 kasus kekerasan pada jurnalis terbanyak dilakukan oleh warga dengan 17 kasus. Pada urutan kedua, dengan jumlah 11 kasus, ditempati oleh polisi dan ketiga pejabat pemerintah 8 kasus.

Baca Juga :   Silaturahmi Alumni SMP Mastrip '94 : Merangkai yang Tercerai-berai

Oknum lain serupa TNI, satpol PP dan pelaku tidak dikenal masing-masing melakukan satu kasus.  Tahun 2015 lalu, pelaku kekerasan terbanyak dilakukan oleh polisi dengan 14 kasus, diikuti warga dengan 9 kasus dan pejabat pemerintah 8 kasus.

“Ironis sekali polisi justru menempati urutan kedua pelaku kekerasan,” kata Ketua Bidang Advokasi, Iman D. Nugroho melalui rilisnya.

Maraknya kekerasan oleh warga terhadap kinerja jurnalis, sebagai efek buruk dari pembiaran yang dilakukan oleh kepolisian.

Sejak AJI Indonesia menganugerahkan polisi sebagai musuh kebebasan pers tahun 2015 lalu, hingga kini belum tampak ada perubahan. Polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik.

“Parahnya desakan AJI agar kepolisian mengusut tuntas kasus pembunuhan delapan jurnalis yang hingga kini belum ada tindak lanjut,” tambah Imam.

Delapan jurnalis yang tewas karena pemberitaan tersebut adalah Muhammad Fuad Syahfrudin alias Udin (jurnalis Harian bernas Yogyakarta tewas tahun 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999).

Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).

Baca Juga :   DPRD Sidak Tempat Hiburan Malam

“Sepanjang tahun 2015-2016 kepolisian gagal melindungi hak warga negara dalam menyampaikan pendapat atau ekspresi,” jelasnya.

Ranah kebebasan bereskpresi juga tengah mendapat ancaman serius, setelah lebih dari 170 kasus kriminalisasi karena dilaporkan melanggar Undang- undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE).

Warga  yang menjadi korban karena mengeluarkan pendapat melalui ranah internet ini terus bertambah. Bahkan sejumlah kasus kriminalisasi, adalah narasumber berita yang selama ini menyuarakan sikapnya melalui media.

 Peran polisi menegakkan hukum terkait kasus-kasus kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat telah gagal. Maka AJI Indonesia menetapkan polisi musuh kebebasan pers 2016.

“Ini untuk kelima kali polisi menjadi musuh kebebasan pers sejak pertama kali dihelat tahun 2007,” pungkasnya. (Aim)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *