Tertutup Rapat Pintu Masuk Masyarakat untuk Kilang Tuban

Suwarto Tuban

SuaraBanyuurip.com - Ali Imron

Tuban- Carut marutnya permasalahan proyek Kilang Minyak (New Grass Root Refinery and Petrochemial/NGRR) Tuban, telah melukai sekaligus membuat pintu hati masyarakat Desa Remen-Mentoso, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, tertutup. Kondisi tersebut semata-mata disebabkan karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim, dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban kurang paham terhadap ketentuan hukum yang bisa memayungi tugas dan kewajibannya.

“Mereka hanya membuat kebijakan dan menjalankan kebijakan secara hantam kromo tanpa memperhatikan cara dan prosedur yang benar menurut hukum,” ujar salah satu pemilik lahan di Desa Mentoso, Kecamatan Jenu, Soewarto Daemandi, kepada suarabanyuurip.com, di Desa Sugihwaras, Jenu, Kamis (15/3/2018).

Berulang kali masyarakat Remen-Mentoso selalu mengingatkan kepada Pemprov dan Pemkab, bahwa Kilang Minyak itu kalau dibangun di Kecamatan Jenu tidak bisa diketegorikan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum. Sesuai penjelasan Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 2 tahun 2012, pembangunan infrastruktur minyak baru mempunyai nilai sebagai pembangunan untuk kepentingan umum apabila ada keterkaitan dengan usaha hulu minyak dan gas bumi berupa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas.

Sedangkan di Desa Remen-Mentoso serta seluruh Kecamatan Jenu sama sekali tidak ada kegiatan usaha hulu itu. Jadi rencana pembangunan kilang minyak di Kecamatan Jenu ini bukan pembangunan untuk kepentingan umum, tetapi semata-mata hanya untuk kepentingan perusahaan Pertamina/Rosneft yang berbendera asing (Rusia).

Karenanya pemerintah tidak bisa menggunakan UU Nomor 2 tahun 2012 sebagai landasan operasionalnya yaitu melakukan sosialisasi, konsultasi publik dan seterusnya. Karena hal itu merupakan tahapan-tahapan yang khusus diperuntukkan bagi pengadaan tanah pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal pembangunan kilang bukan untuk kepentingan umum, karenanya Pemprov maupun Pemkab Tuban tidak perlu melakukan tahapan itu.

Demikian pula, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tuban seharusnya segera mengingatkan kepada Pemkab Tuban tentang adanya kekeliruan itu. Bukan malah ikut berteriak di media menakut-nakuti masyarakat bertindak seolah-olah sebagai penegak kebenaran dan keadilan.

“Kalau hal itu tetap dilakukan berarti pemerintah telah keluar dari rel hukum dan dengan tegas saya katakan telah menabrak Undang-undang,” terang alumnus Airlangga jurusan hukum itu.

Baca Juga :   Musdes Penentuan Calon Pengganti TKD Gayam Nihil

UU Nomor 2 tahun 2012 dengan jelas tertulis,” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”. Bukan pembangunan untuk kepentingan perusahaan. Masyarakat Desa Remen-Mentoso sebagai bagian dari masyarakat Jatim, khususnya Tuban akan merasa malu kalau melihat para pejabatnya baik Gubernur Jatim, Bupati Tuban, Wabup Tuban, dan Ketua DPRD nya salah dalam membuat kebijakan dan karenanya tiada hentinya masyarakat Remen-Mentoso mengingatkan melalui surat yang dikirim.

Mbah Warto sapaan akrabnya menjelaskan, sejak awal waktu diadakan sosialisasi di Hotel Willis Jenu pada tanggal 5 Nopember 2017 masyarakat sudah berteriak Kilang Minyak bukan pembangunan untuk kepentingan umum. Justru dalam suratnya, masyarakat Remen-Mentoso sudah menjelaskan secara rinci sesuai penjelasan Pasal 7 Ayat 2 UU Nomor 2 tahun 2012 bahwa Kilang Minyak bukan untuk kepentingan umum. Saat itu sosialisasi gagal total lalu buyar pulang ke rumah masing-masing.

Kendati demikian, Pemprov Jatim, Pemkab Tuban, dan DPRD Tuban masih tidak mudeng, tidak paham, maka tanggal 4 Januari 2018 diadakan dengar pendapat di Gedung DPRD Tuban dengan Komisi A dan hasil tetap sama. Masyarakat Remen-Mentoso menolak Kilang Minyak karena bukan untuk kepentingan umum.

Ternyata untuk memberikan pemahaman hukum agar semua yang dilakukan itu tertib hukum, dan sasar hukum itu tidak mudah. Karena pada tanggal 3 Februari 2018 masih diadakan sosialisasi pembangunan kilang minyak di Gedung KSPKP  Tuban. Hasilnya sepi tak ada masyarakat yang datang karena tak mau menjual lahannya. Waktu itu yang hadir hanya Kepala Desa dan perangkat Desa Remen ditambah Camat Jenu dan stafnya.

“Masyarakat tidak hadir karena mereka tahu ini bukan kepentingan umum,” tegas Soewarto.

Kondisi tersebut berarti, masyarakat Desa Remen-Mentoso memiliki kesadaran hukum sangat tinggi. Mereka jauh lebih melek hukum bila dibandingkan dengan pihak yang lain dalam kasus ini.

Menyikapi hal itu, masyarakat hanya mengadakan selametan, tumpengan, berdoa bersama memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pemerintah punya kesadaran hukum dan tidak bisa memaksa untuk menjual tanah dan menggusur rumah, sambil memasang spanduk dan pamflet. Ternyata pasukan Satpol PP merampasi pamflet yang dipasang, di depan rumah sendiri dan di ladang masyarakat sendiri dengan mengatasnamakan Perda Nomor 16 tahun 2014.

Baca Juga :   Pertamina EP Asset IV Beri Pelatihan Manajemen ASI

“Lha wong pamflet berbunyi tidak jual tanah kok dirampasi. Bagaimana ini Perda kok nyasar ladang. Padahal di kota banyak pamflet yang bunyinya Rumah Dijual, Rumah Dikontrakkan, dan lain-lain.Lha kok tidak dirampas toh, Mas?,” tambahnya.

Perda Tuban Nomor 16 tahun 2014 yang melarang penempelan pamflet dengan sembarangan itu sudah ditentukan secara limitatif pada jalan protokol yaitu, Jalan Basuki Rahmat, Jalan Sunan Kalijogo, Jalan Diponegoro dan seterusnya. Tidak ada yang tertulis jalan di tengah ladang dan di tengah sawah. Warto menilai ini adalah bentuk intimidasi kepada masyarakat Remen-Mentoso, disamping kurnagnya pengetahuan hukum pada pejabatnya.

Dalam menghadapi permasalahan Kilang Minyak ini, seharusnya Pemprov Jatim dan Pemkab Tuban cukup memfasilitasi apa yang dikehendaki oleh Rosneft dan Pertamina. Bukan tampil ke depan manakut-nakuti masyarakat.

“Harus nguwongke uwong, nguwongke masyarakat, Pemprov dan pemkab harus kulo nuwun harus permisi, pasti akan disuguhi kopi bukan caci maki,” sarannya.

Sekarang masyarakat Remen-Mentoso sudah tertutup hatinya untuk Kilang Minyak. Masyarakat juga selalu berucap dan menyebut paribahasa Jawa “Mosok kerbau kok kabotan sungu” yang maksudnya walaupun sungu atau tanduk yang tumbuh di atas kepala kerbau itu makin lama makin berat, tapi itu harus tetap disangganya. Tidak boleh dipotong salah satu, karena kalau dipotong maka potongannya akan mati.

Demikian juga pemerintah untuk mengatasi menipisnya stok BBM, jangan lalu memotong sektor pertanian dengan cara menyerahkan tanah-tanah pertanian kepada Pertamina. Hal ini akan mematikan nafkah masyarakat petani, utamanya masyarakat Desa Remen-Mentoso.

“Pemerintah harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengatasi menipisnya stok BBM dan sedikit pamer kebodohan, masyarakat berpendapat bahwa mobil listrik merupakan solusinya,” harapnya.

Hingga berita ini ditulis, wartawan media ini masih menunggu konfirmasi dari Pemprov Jatim, Pemkab Tuban, dan DPRD Tuban.(Aim)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *