Warga Pelem Ancam Blokir Jalan Proyek J-TB

Parlan tunjukan tembok retak

SuaraBanyuurip.com - Samian Sasongko

Bojonegoro – Sebagian warga Desa Pelem, Kecamatan Purwosari, Bojonegoro, Jawa Timur, akan melakukan aksi pemblokiran jalan proyek Unitisasi Lapangan Gas Jambaran-Tiung Biru (J-TB) yang masuk wilayah mereka jika perusahaan tidak segera merespon laporan dampak aktivitas proyek.

Salah satu warga Pelem terdampak, Parlan, mengatakan, rencana aksi pemblokiran jalan proyek J-TB yang masuk wilayah Pelem dilakukan karena laporan adanya dampak yang diduga kuat ditimbulkan dari aktivitas proyek J-TB tak kunjung direspon oleh perusahaan.

Salah satunya adalah getaran alat berat grader saat melakukan pemadatan jalan menuju Jambaran Sentral pada awal bulan Mei 2017 lalu telah membuat tembok dan lantai keramik rumah miliknya retak. Selain itu juga berkaitan dengan polusi debu yang setiap harinya dirasakan warga.

“Masalah retaknya bangunan rumah saya ini sudah saya laporkan ke perusahaan dan sudah dilakukan pengecekan. Tapi kenyataannya sampai saat ini tidak ada kelanjutannya. Jadi jangan salahkan kalau jalan saya blokir,” kata Parlan, kepada suarabanyuurip.com, Rabu (23/8/2017).

Baca Juga :   EMCL Fokus Kegiatan Produksi Banyuurip

Warga RT/RW, 02/02 tersebut merinci, selain dirinya, empat orang warga juga merasakan dampak, yaitu Madi, Tasir, Supardi, dan Nurhadi. “Saya dan empat warga terdampak sudah sepakat tuntutanya adalah diberikan kompensasi yang sepadan,” ujarnya.

Ketika disinggung siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas dampak tersebut PEPC atau PT Pembangunan Perumahan (PP) kontraktor pelaksana proyek sipil J-TB.

Parlan menyebutkan, berkaitan dampak tentu tidak lepas dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Meski ada keterkaitan namun pemegang keputusannya adalah Pertamina Eksplorasi dan Produksi Cepu (PEPC) selaku operator proyek J-TB. Sedangkan PP tentu tidak memiliki peranan penuh dalam keputusan akhir karena hanya selaku kontraktor pelaksana saja.

“Intinya saya minta keputusannya langsung ke PEPC. Entah dalam prosesnya melalui PP atau diberikan langsung oleh PEPC tidak ada masalah,” ungkap Parlan yang pernah bekerja di proyek Banyuurip, Blok Cepu ini.

Dia menambahkan, berkaitan dengan polusi debu juga perlu diperhatikan. Karena selama ini penyiraman yang dilakukan masih belum maksimal. Hanya dilakukan empat kali dalam sehari. Seharusnya minimal dilakukan delapan kali dalam sehari. Karena itu jika tuntutan yang diajukan tidak dikabulkan maka aksi nanti akan terus dilakukan sampai ada keputusan yang jelas tidak sekedar dijanjikan.

Baca Juga :   PHE Lepas Pantai Bunyu Survei Seismik Laut 3D Pertama di Perairan Kalimantan Utara

“Saya tidak ada niatan untuk menghambat proyek tapi menuntut hak sebagai warga terdampak. Kalau tuntutan dikabulkan ya silahkan pekerjaan dilanjutkan,” ucapnya.

Senada diungkapkan warga terdampak lain, Mukti. Dia mengaku, selama proyek mulai beraktivitas selain getaran alat berat yang membuat retak bangunan rumah juga polusi debu setiap harinya dirasakan.

“Tidak cukup hanya disirami saja lah juga diberi kompensasi tiap bulannya. Habis disiram juga kering lagi karena panas kemarau. Debu pedel berhamburan kembali dihempas angin,” kata istri Tasir ini.

Sementara, Public Governmnent Affair And Relations PEPC, Kunadi, mengaku, akan melakukan pengecekan terlebih dulu.

“Saya check ke temen-temen lapangan dulu ya, Mas,” kata Kunadi, ketika dikonfirnasi suarabanyuurip.com melalui WhatsApp perihal dampak yang dirasakan warga Pelem.(sam)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *