Mluntur Lantung Di Bukit 1.000 Menara

Mluntur Lantung Di Bukit 1.000 Menara

SuaraBanyuurip.com - 

Lebih dari 100 tahun, sumur minyak tua Wonocolo telah menjadi mata pencaharian masyarakat setempat. Mereka berjibaku menggantungkan harapan dari mluntur lantung.

Alunan gamelan memecah suasana pagi menjelang siang di kawasan sumur minyak tua Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Minggu (8/12/2019). Sepuluh pemuda telanjang dada berjalan di atas karpet warna hijau. Berjajar dua sambil membawa tali tampar (plastik) berwarna biru.

Mereka bersiap menarik tali dari menara hitam. Sembilan orang bertugas menarik tali, sedangkan satu orang lainnya berada di bawah menara hitam dengan tiga tiang. Menunggu timbal-berbentuk lonjong- muncul dari dalam sumur.

Tali itu ditarik sekuat tenaga sampai timbal keluar dari mulut sumur. Setelah timbal muncul dipermukaan terlihat cairan berwarna pekat dengan bau menyengat.

Gerakkan memasukan dan menarik timbal ke dalam sumur dengan kedalaman 300 sampai 350 meter itu berulang-ulang dilakukan. Bisa mencapai 52 kali.

Rombongan pemuda itu terlihat kelelahan. Mereka berhenti sejenak untuk istirahat. Sekadar minum air menghilangkan dahaga, atau makan bekal yang dibawa untuk mengusir perut keroncongan. Setelah itu aktifitas memasukan dan menarik timbal kembali mereka lanjutkan.

Aksi yang diperagakan sepuluh pemuda itu merupakan dramatari mluntur lantung. Dramatari ini menggambarkan cara penambangan minyak tradisional yang dilakukan masyarakat Wonocolo pada zaman dulu. Mereka berbekal tenaga dan alat sederhana. Menara kayu sebagai penyangga timba, serta tali temali seling.

Baca Juga :   Gilas Dua Pasar Modern dan Tradisional

Para penambang berjibaku menggantungkan harapannya dari 1.000 menara yang berdiri di pegunungan kendeng.

“Yang ingin kami sampaikan kepada masyarakat, bagaimana rekasane atau susahnya, orang zaman dahulu mluntur lantung atau mengambil minyak dari dalam sumur,” ujar Suparman, penggagas Dramatari Mluntur Lantung, Minggu (8/12/2019), usai pertunjukan dalam rangkaian Festival Geopark ke 2 Bojonegoro di Wonocolo.

Kondisi tersebut berbeda dengan sekarang. Panambang lebih mudah. Sudah menggunakan mesin untuk mengambil minyak.

“Kalau dulu ya seperti itu, masih menggunakan tenaga manusia,” ujar pria yang menjabat Kepala TU Puskesmas Kedewan itu.

“Bisa dibayangkan, kalau dihitung sebanyak 52 kali menarik timba, itu sama dengan 27 kilo meter berjalan. Aktifitas itu dilakukan setiap hari,” lanjutnya.

Dramatari Muluntur Lantung yang digagas Suparman ini sebagai upaya menyampaikan sejarah para pendahulu kepada generasi sekarang.

“Terlebih, ini adalah warisan yang layak menjadi pembelajaran,” ucapnya.

Dirinya hanya berharap sejarah lokal di Desa Wonocolo jangan sampai terlupakan.

Dramatari Mluntur Lantung yang ditampilkan rombongan pemuda itu menyita Vera Ayutikasari. Pelajar Kelas VIII SMPN Kedewan itu dengan seksama menyaksikan setiap gerakan yang diperagakan.

“Bagus dramanya. Baru tahu kalau dulu nambangnya pakai tenaga manusia,” timpal Vera.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dibudpar) Bojonegoro, Amir Syahid menjelaskan, Festival Geopark ke 2 ini merupakan bentuk kolaborasi untuk mempromosikan wisata, seni dan budaya lokal agar dikenal masyarakat luas.

Baca Juga :   Senyuman Terakhir di Tempat Pengungsian

“Harapannya bisa menarik wisatan lokal maupun manca untuk datang ke Bojonegoro,” tegasnya.

Wonocolo merupakan salah satu kawasan Geopark Bojonegoro yang telah mendapatkan sertifikat geopark nasional sebagai kawasan cagar alam geologi dari Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2017 lalu. 

Memiliki areal seluas 23 kilometer persegi dan dihuni 1400 jiwa, Kawasan Geopark Bojonegoro menjanjikan wisata alam khususnya berupa hamparan minyak yang menyatu dengan kebudayaan setempat.

Selain banyak dikunjungi wisatawan, selama ini Wonocolo kerap dijadikan sebagai laboratorium alam oleh perguruan tinggi ternama dengan belajar langsung. Mereka biasanya akan terkonsentrasi di kawasan hamparan minyak. Di kawasan ini, terdapat sejumlah titik yang kerap dikunjungi seperti pertambangan minyak yang telah dikelola selama 110 tahun.

Dari 700 sumur minyak yang ada, sebanyam 200 sumur di antaranya ditambang secara tradisional. 

Keunikan lain geologi yang berada di kawasan ini adalah batuan reservoar penghasil minyak bumi pada kedalaman rata-rata +100 meter di bawah permukaan tanah (kedalaman reservoir berada diatas permukaan air laut).

“Ini membuktikan bahwa minyak bumi di Wonocolo merupakan reservoar terdangkal di Indonesia bahkan dunia,” pungkas Amir.(Ahmad Sampurno)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *