Menantang Terik di Ladang Migas Banyuurip

HARI Senin tanggal 15 Juni 2015. Jarum pendek tepat menunjuk angka 11, ketika sepasang petani menyirami tanaman jagung di ladangnya, di sudut Dusun Kaliglonggong, Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Kemarau kali ini, menurut prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bakal lebih lama tak menyurutkan semangat, Suab (40), dan istrinya, Sriatun (35), untuk menggarap sawah. Denyut nadi keluarganya bagai permata yang harus dijaga, sekalipun terik matahari mengiris raganya yang tipis.

Terhitung sudah sebulan terakhir mereka dipaksa meluluhkan peluh lebih, memanggul jirigen pulang pergi dari rumah ke sawah untuk mencukupi asupan air tanaman jagungnya. Anak sungai Kaliglonggong yang sebelumnya menjadi sandaran irigasi, tak lagi bisa diharapkan. Airnya telah mengering di awal musim kemarau kali ini.

“Tiap hari tujuh kali bolak-balik dari rumah ke sawah membawa dua jirigen air isi 35  liter,” ujar Suab, saat ditemui melepas lelah di pematang sawah sementara sang istri meneruskan menyirami jagung.

Tak terlihat amarah. Pula kecewa atas profesi turun temurun yang dipilihnya. Hitam tanah sawah sewarna kulitnya bagai simbul erasnya perjuangan hidup yang musti dilakoninya.

Di lubuk hatinya yang terdalam, Suab dan Sriatun, maupun petani di dusunnya berharap ada keajaiban datang. Mereka bermimpi ada irigasi teknis dari sungai Kaliglonggong bisa mengalir sampai ladangnya.

Baca Juga :   Manfaatkan Kotoran Ternak Jadi Energi Alternatif

“Sebenarnya kalau pinggiran sungai kaliglonggong di semen, lalu ada saluran irigasi yang bagus mungkin masih bisa menyisakan air di musim tanam kedua seperti ini,” kata Sriatun dalam suara lirih.

Mereka menyadari jika jagung di sawah warisan orangtuanya seluas 1.000  meter persegi itu tak bakal panen maksimal. Meski begitu kedua warga desa ring 1 ladang Migas Banyuurip, Blok Cepu ini tetap bertahan. Mereka menyerahkan semuanya kepada Sang Khaliq, setelah rangkaian prosesi bertani dilakoninya dengan ihlas.

“Panas kemarau kali ini berbeda dengan tahun lalu, sekarang panasnya sangat menyengat,” ujar Sriatun dengan logat Jawa yang kental.

Jika dihitung petani di Kecamatan Gayam lebih untung menanam padi daripada jagung atau palawija lainnya. Hasil panen padi bisa mencapai tiga sak gabah, kalau dijual bisa mendapatkan duit kurang lebih Rp3 juta. Sementara hasil panen jagung hanya setengahnya saja.

“Kalau sekarang tidak nyambi pekerjaan lain, seperti kuli bangunan ya tidak ada pendapatan,” tukas Suab menimpali cerita istrinya.

Meskipun berada di ring 1 sumur minyak Banyuurip yang dioperatori ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), namun mereka belum pernah mendapatkan pelatihan tentang pertanian. Padahal program tersebut telah digelontorkan EMCL melalui Program Penunjang Operasi (PPO).

Baca Juga :   Tangan Tuhan Menyentuh SPBU Siman

“Saya dan kawan tani sekitar sini sebenarnya tahu ada pelatihan pertanian, tapi ya bisa apa kalau memang tidak diajak,” ujar Suab penuh kepasrahan.

Bagi Suab dan Sriatun pelatihan tentang pertanian dari EMCL sangat bermanfaat. Akan tetapi dari pengamatan selama ini, banyak petani yang mendapat pelatihan belum ada kemajuan sama sekali.

“Saya lihat yang dapat pelatihan ya sama saja kondisinya, karena kalau ikut pelatihan tidak turun lapangan ya percuma,” imbuhnya.

Sekalipun sudah ada lima tahun EMCL memberi pelatihan kepada warga Gayam, menurut Kepala Desa Gayam, Winto, namun belum merata kepada semua petani di desanya. Terlebih untuk pelatihan bidang pertanian yang sebenarnya banyak diharapkan warga setempat.

“Saya harap ada program pertanian yang diberikan secara fokus,” pungkasnya.

Suab dan Sriatun kembali pada aktifitasnya. Mereka menyirami tanaman jagung. Angin utara mulai kencang mengusung terik, disaat sang penguasa jagat tepat di atas ubun-ubun.  (ririn wedia)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *