Lelaki Tua di Sudut Pemboran Alas Tua Barat

SuaraBanyuurip.com - 

SEORANG pria tua duduk di depan sebuah lapak butut di samping Kantor Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Tangannya ringkih menarik jarum dan benang yang ditancapkan pada sebuah sepatu. Ditemani tumpukan sepatu dan sandal bekas di lapak berukuran 1,5 meter x 2 meter, pria senja itu terlihat telaten merajut helai benang sepatu.

Dia adalah Paimo, tukang sol sepatu. Warga RT/RW. 06/2/ Desa/Kecamatan Ngasem, itu sudah lima belas tahun menjahit sepatu dan sandal. Paimo adalah satu-satunya tukang sol sepatu di wilayah Ngasem. Setiap hari, mulai pagi hingga sore hari-hari dia habiskan di lapaknya untuk menjahit sepatu dan sandal para pelanggannya.

“Lumayan mas, bisa untuk menyambung hidup,” kata Paimo lirih sambil mengusap keringat yang menetes di raut mukanya yang keriput, Minggu (28/7).

Dalam perbincangannya dengan www.suarabanyuurip.com, Paimo kemudian menceritakan kisah hidupnya. Sebelum menekuni pekerjaan sebagai tukang sol sepatu, pria kelahiran 1933 silam ini, mengaku dulunya sebagai kuli bangunan di Surabaya. Hidup keras di Kota Pahlawan ia lakoni selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya akhirnya  memutuskan untuk beralih pekerjaan.

Paimo beralih pekerjaan ikut temannya yang menjadi tukang sol sepatu di Surabaya. Selama berbulan-bulan dia belajar cara menjahit sepatu dari temannya sebelum kemudian membuka sol sepatu sendiri pada 1988 silam. Dengan semangat, Paimo terus berjuang melawan getirnya hidup di kota besar.

Keahlihannya merajut benang sepatu kian terasah. Usahanya dia kembangkan tidak hanya menjahit sepatu dan sandal. Melainkan  tas, helm, dan lain sebagainya.  

Baca Juga :   Pemuda Desa Asal Bojonegoro ini Sukses Budidaya Kopi di Pekarangan Rumah

“Waktu disana dulu pelanggan saya cukup banyak. Pekerjaan ini bisa memenuhi kebutuhan hidup saya selama di Surabaya,” kenang Paimo sambil menjahit sepatu yang berada genggamnya.

Namun seiring perkembangan zaman, di Kota Surabaya mulai tumbuh subur para tukang sol sepatu. Usaha yang digeluti Paiomo berangsur-angsur sepi karena banyaknya persaingan. Akhirnya dengan terpaksa dia memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirnya di Desa Ngasem pada 2009 silam.

Kemudian dengan keahlihannya itu, Paimo menerusakan usahanya sebagai penjahit sepatu di desanya pada 2010 silam. Dia mendirikan lapak sederhana di pinggir Jalan Raya Ngasem-Ngambon. Meski awalnya usaha itu sepi, namun lambat laun mulai ramai.

Maklum di wilayah pedesaan, tak banyak masyarakat yang membutuhkan jasa Paimo untuk menjahit sepatu, sandal maupun tas seperti di kota besar seperti Surabaya. Namun dengan sabar dan telaten, bapak dua anak itu tetap bertahan. Karena hanya keahlihan itulah yang ia punyai untuk menghidupi keluarganya.

“Kerjaan ini sudah jadi gantungan hidup keluarga saya, Mas. Jadi, tidak bisa saya tinggalkan. Apalagi sekarang sudah tua. Pastinya, usia mempengarui untuk mencari kerjaan lain,” tutur pria yang sudah berusia 80 tahun tersebut.

Untuk itulah hari-harinya dia habiskan dilapaknya. Meski dengan pendapatan yang tidak bisa ia pastikan. Paimo mengaku, pendapatan yang dia peroleh tergantung dari jumlah orang yang datang untuk menjahitkan sepatu atau sandal. Untuk menjahit sepasang sepatu pria berkacamata itu memberikan tariff Rp10.000.

Baca Juga :   Kapal Nanggala Hilang Kontak, Istri Kopda Faizin Yakini Suami Dalam Keadaan Sehat

Selain melayani jahit sepatu dan sandal, Paimo juga menjual helm, sabuk, sepatu dan sandal bekas. Rata-rata sepatu bekas itu dia jual seharga Rp50.000. Barang bekas yang dijual Paimo hasil kulakan dari Surabaya.

“Kalau soal penghasilan tidak mesti, Mas. Kadang sehari dapat Rp50.000 dan kadang juga dibawahnya. Semua itu tergantung pelanggan yang pesan dan beli,” ujar Paimo, menerangkan.

“Bagi saya berapapun rejeki yang saya dapat tetap saya syukuri saja. Yang terpenting dapat pemasukan untuk kebutuhan keluarga untuk seharinya,” lanjut dia.

Meski sekarang ini tak jauh di tempat kelahirnnya terdapat sumber migas Alas Tua Barat (ATW), Blok Cepu, yang di operatori Mobil Cepu Limited (MCL), Paimo tak berharap banyak dengan tubuhnya yang sudah renta. Dia hanya berharap ada pemberian modal untuk mengembangkan usaha yang digelutinya.

“Ya mudah-mudahan ada pihak terkait yang sudi memberikan modal untuk usaha saya ini,” pungkas Paimo mengakhiri perbincangannya.

Salah satu saudara Paimo, Pasiyem, menambahkan, semasa mudanya Paimo selalu kreatif dalam mencari peluang kerja untuk menghasilakan uang. Meskipun pekerjaan kasar sekalipun.

“Keluarga yang menyuruh dia pulang kampung, Mas. Karena kondisinya sudah tua. Lagi pula hidup di Surabaya sekarang pastinya kebutuhan juga serba mahal. Sehingga, disuruhnya untuk meneruskan pekerjaannya di rumah saja,” imbuh Pasiyem.(samian sasongko)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *