Bengawan Solo Antara Berkah dan Bencana

benagwan

SEMBURAT merah dari ufuk timur mulai menghangatkan langit Bumi Ranggalawe, Tuban. Kicau burung pipit menyambut pagi selepas dari peraduan. Segerombol diantaranya mulai terbang menuju hampar sawah di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo.

Suasana semakin semarak tatkala suara beberapa perempuan menggendong bakul merapat di pematang sawah. Sesekali mereka berteriak memanggil para pria mendekat.

“Kang, ini sarapannya. Berhenti sejenak sarapan dulu,” teriak perempuan paruh baya memanggil suaminya yang terlihat sibuk di tengah sawah, di sudut Desa Bandungrejo, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, Jatim, pekan ketiga di bulan Oktober 2012.

Di salah satu petak lahan terlihat seorang petani bercaping butut dari anyaman bambu menyeret selang panjang. Tampaknya petani muda ini tengah mengairi semaian bibit padi yang kelak akan ditanam. Meski selang di tangan tangan tak besar, tapi aliran air yang memenuhi rongganya adalah beban yang tak ringan.

“Air ini saya pompa dari parit, dan parit itu dialiri air dari Bengawan Solo, Mas,” ujar Bisrul (30), pemuda yang mengaku ditugaskan orangtuanya untuk menggarap lahan peninggalan moyangnya.

Mayoritas petani yang ada di desa ini sangat bergantung pada aliran sungai Bengawan Solo. Tak hanya Desa Bandungrejo, tapi juga desa-desa lain yang menyebar di minimal tiga kecamatan di Tuban, yaitu Kecamatan Plumpang, Kecamatan Rengel, dan Kecamatan Widang.

“Tak hanya di Plumpang sini saja, tapi juga desa lain yang berada di sekitar Bengawan Solo ini,” tambah pemuda itu.

Sungai terpanjang di Pulau Jawa ini memang bagai berkah bagi petani di Tuban. Terlebih menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tuban yang dilansir situs resmi Pemkab Tuban (http://tubankab.go.id/new/tuban-25-Pertanian.html) disebutkan, Kecamatan Plumpang, merupakan kecamatan yang mempunyai produksi beras terbesar di Tuban.  

Baca Juga :   Tak Lupakan Tanggung Jawab Sosial

Mengalahkan 19 kecamatan lain yang ada di Tuban. Dengan luas lahan pertanian 9.726 hektar, lahan pertanian di kecamatan ini mampu menghasilkan 62,72 kuintal perhektarnya, atau total produksi beras sebesar 61.033 ton beras. Itu dalam hitungan satu kali masa panen. Padahal petani bisa memanen sawahnya hingga tiga kali dalam setahun.

“Wilayah ini, termasuk salah satu lumbung padi Tuban, sebagai wilayah penghasil beras terbanyak,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian Tuban, Sudarmuji, saat ditemui ketika meninjau lahan pertanian yang ada di Kecamatan Plumpang, Jumat (5/10/2012). 

Kecamatan Plumpang, tambah dia, termasuk salah satu lumbung padi yang dimiliki oleh Tuban. Bahkan untuk produksi kecamatan ini mampu mendongkrak Tuban mengalahkan beberapa kabupaten lain di Jawa Timur untuk masalah kesediaan pangan.

Dalam data yang sama, dua kecamatan lain, Kecamatan Rengel dan Kecamatan Widang yang masuk dalam DAS Sungai Bengawan Solo juga termasuk lima wilayah kecamatan penghasil beras terbanyak. Kecamatan Widang yang mempunyai lahan pertanian seluas 67.332 hektar, mampu memproduksi rata-rata 70,64 kuintal per hektarnya.

Berarti dengan lahan seluas itu secara keseluruhan kecamatan ini mampu menghasilkan beras dengan kapasitas produksi sebanyak 51.792 ton produksi. Widang menempati urutan kedua setelah Plumpang yang mempunyai produksi beras terbanyak dari 20 kecamatan yang ada di Tuban.

Sedang satu kecamatan lagi yang masuk lumbung padi adalah Kecamatan Rengel. Wilayah ini menempati urutan ke empat, dengan luas areal pertanian 5.100 hektar, kapasitas produksi bisa mencapai 59,40 kuintal per hektarnya. Sehingga apabila dijumlah total produksi bisa mencapai 30.172 ton dalam satu kali masa panen.

Baca Juga :   Bengkel Kecil Ipung Jadi Mitra Pertamina

Melihat data itu, Hendrik Kurniawan, salah satu tokoh Karang Taruna Desa Kedungsoko, Kecamatan Plumpang, Tuban, Jawa Timur menyadari betapa pentingnya air Bengawan Solo bagi kehidupan petani yang berada di sekitarnya. Selama ini desanya termasuk wilayah yang lahan petaniannya bergantung pada kecukupan air yang ada di sungai tersebut. Bahkan bengawan tak sekadar gantungan hidup bagi petani saja.

Saat ini dia bersama teman-temannya mencoba memberikan kesadaran kepada anak petani. Dengan fokus diantaranya tentang pentingnya peranan desa mereka, bagi ketersediaan pangan untuk masyarakat luas.

Beberapa langkah yang dilakukan adalah pemetaan terkait kebutuhan pertanian yang ada disana. Termasuk kajian mengenai pentingnya sungai Bengawan Solo bagi pengairan petani setempat.

“Kami berharap sumber air yang ada di Bengawan Solo, bisa mencukupi kebutuhan air bagi petani disini,” ujarnya saat mengantar Suara Banyuurip di salah satu gorong-gorong air yang dibuat oleh petani setempat.

Ditambahkan, dari hasil kajian dan analisa yang dilakukan beberapa anak petani disana, muncul suatu kegelisahan. Kondisi ini menyusul keberadaan proyek Bendung Gerak di wilayah Bojonegoro yang kabarnya memiliki multi fungsi. Apalagi telah diresmikan oleh dua menteri yaitu Menteri Pengerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto dan Menteri Koordinator Ekonomi Hatta Rajasa, pada Rabu (02/5/2012) lalu. (edy purnomo/bersambung)


»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *