Menggelorakan Perjuangan Hak Blora dalam DBH Migas

Sampurno

SuaraBanyuurip.com 

Oleh : Ahmad Sampurno* 

Produksi Lapangan Banyu Urip Blok Cepu telah mencapai puncaknya. Dibangga – banggakan ikut berkontribusi ke negara disektor energi minyak bumi. Tidak hanya itu, daerah turut kepercikan berkah, dari tuah muntahan minyak mentah. Khususnya Bojonegoro dan Jawa Timur. Namun tidak bagi Kabupaten Blora. Ketika daerah tetangga bersorak ria mendapat kucuran dana DBH, Kabupaten Blora justru dirundung rasa kecewa.

Tuah DBH migas tidak bisa singgah hanya karena tidak ada mulut sumur. Sebab, sesuai UU 33/2004, pembagian DBH Migas hanya kepada kabupaten penghasil dan kabupaten/ kota dalam satu provinsi berdasarkan keberadaan mulut sumur. Adil? Tentu tidak bagi warga Blora. 

Ketidakadilan DBH bagi Blora sebenarnya bukan wacana baru. Riak – riak suara menyerukan keadilan tentang DBH sudah lama menggelora. Hanya saja, menurut saya masih setengah hati atau memang nurani para pengambil kebijakan belum terketuk. 

Beberapa waktu lalu, bahkan sampai saat ini, masyarakat Blora yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Blora (AMSB) kembali bersuara tentang keadilan DBH Blora. Sejauh ini, saya belum melihat itu sebuah gerakan makar atau pun politisasi menjelang Pilkada tahun 2020 nanti. Namun semangat kedaerahan yang bermuara pada sistem ketatanegaraan yang bermartabat dan berkeadilan. 

Elit pusat boleh saja bergeming dan mempertahankan UU 33/2004 dengan dalih perundangan yang harus ditaati. Tapi undang – undang bukan kitab suci atau sabda nabi. Semua dapat diubah melalui proses politik yang bijak demi kemaslahatan rakyat. Bukankah migas sejatinya untuk kepentingan rakyat. 

Blora Bagian Tak Terpisahkan dari Mulut Sumur

Melalui tulisan ini saya ingin menganalogikan secara sederhana dasar yang menyebabkan ketidakadilan bagi Blora. Jika memang Blora dianggap tidak memiliki mulut sumur maka analoginya ibarat tubuh manusia Blora adalah bagian organ tak terpisahkan dari mulut itu. Boleh jadi Blora adalah paru – paru, tangan, jantung, atau bahkan otot dari mulut yang mengucurkan minyak mentah itu.

Baca Juga :   Menyoal Aktifitas Pemudi Desa di Sektor Publik

Pada intinya mulut tersebut tak akan berliur jika organ tubuh lain tidak berfungsi.  Kalau pun Blora dianggap tidak memperoleh DBH karena tidak ada mulut sumur, maka Blora merupakan hamparan ladang yang ditengahnya terdapat sumur – sumur. Toh, secara kajian geologis sudah jelas terbukti bahwa WKP Blok Cepu juga termasuk Blora. Ini pula yang menjadi pertimbangan Blora dapat memiliki Participating Interest (PI) di Blok Cepu. 

Tak Diikuti Tekad Kuat Daerah

Ditengah semangat masyarakat Blora yang menggelora justru Pemerintah daerah Blora seperti kehilangan asa. Bupati Blora, Djoko Nugroho, dalam suatu kesempatan pernah saya konfirmasi terkait dukungannya sebagai bupati, terhadap perjuangan Judicial Review.

Namun, saya melihat tidak ada langkah kongkrit yang dilakukan. Setidaknya tindakan nyata. Misalnya melalui kebijakan atau komunikasi politik dengan elite pusat. Pun dengan legislatif. Menurut hemat saya, baik eksekutif maupun legislatif dalam persoalan ini seperti tak punya taji. 

Terkebirinya hak warga Blora mendapat DBH akibat masih diberlakukannya regulasi itu memang menyakitkan. Selama regulasi tersebut masih berlaku warga Blora hanya bisa mendapatkan rasa bangga. Ya, bangga sebagai daerah yang turut memberi kontribusi kepada negara. Kebanggaan itu lambat laun sirna dengan perlakuan tidak adil.

Ini bukan persoalan perundangan yang seolah hanya dijadikan tameng pemerintah atau pun elit pusat. Ini soal keadilan. Aneh rasanya ketika negara tidak dapat bersikap adil karena regulasi. Dan yang paling ironi, negara biasanya hadir ketika berkaitan investasi. Solusi akan ada ketika para pemodal menawarkan investasi. Sekalipun mengorbankan petani. 

Baca Juga :   Suyoto, Antara Calon Gubernur DKI dan PI

Langkah Taktis dan Optimis

Bentuk protes yang disuarakan masyarakat Blora bukan hanya suara lantang. Namun juga langkah taktis sesuai perundangan yang diatur dalam negara. Satu diantaranya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Segenap elemen masyarakat Blora telah berupaya menempuh jalur ini sesuai amanat perundangan atas UU Nomor 33 tahun 2004. Mulai dari kajian hukum, membentuk aliansi, hingga membuat petisi.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan, Machfud Sidik, Judicial Review memprediksi peluang dikabulkannya bisa mencapai 50 %. Dengan kata lain, prosentase tersebut merupakan sinyal bahwa perubahan regulasi tersebut masih dapat dilakukan.

Bahkan, Muhammad Husein, mantan Plt Dirut Pertamina (Persero) mempertegas dengan  diperolehnya PI Blok Cepu, menjadi pengakuan tidak langsung bahwa Blora masuk dalam blok.

Dia berpendapat, dalam UU nomor 33 tahun 2004 yang perlu dirubah adalah pasal 19 poin 2 dan 3. Dengan direvisinya UU tersebut melalui Mahkamah Konstitusi, akan berpengaruh pada produk hukum atau aturan dibawahnya.

Termasuk peraturan menteri yang mengatur pembagian dana bagi hasil migas kepada daerah. Terbukanya kesempatan itu seharusnya disambut eksekutif maupun legislatif. Dengan memberikan dukungan penuh, bagi masyarakat yang akan berjuang. Bukan tidak mungkin “kesaktian” UU Nomor 33 tahun 2004 bisa direvisi.   

*Penulis adalah Jurnalis SBU desk Migas Kabupaten Blora 

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *