Pupuk Sulit dan Harga Selangit Petani Bojonegoro Menjerit

user
Sasongko 21 November 2022, 23:00 WIB
untitled

Suarabanyuurip.com - Arifin Jauhari

Bojonegoro - Para petani di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, kini mulai mengeluhkan keberadaan pupuk bersubsidi yang semakin sulit didapat. Jikapun ada, harganya selangit bikin petani menjerit karena dirasa cukup berat.

Salah satu petani di Kecamatan Sumberjo, Abdul Aziz mengungkapkan, semenjak masuki musim hujan kesulitan mendapat pupuk urea bersubsidi.

"Pernah dapat itu harganya selangit, yaitu pupuk subsidi Rp130 ribu per sak. Sedangkan yang non subsidi tembus Rp530 ribu per sak," ungkapnya.

Tingginya harga pupuk non subsidi, menurut Aziz, tentu berdampak langsung pada kenaikan ongkos produksi. Bahkan dimungkinkan juga mengurangi produktivitas. Karena petani bakal mengurangi pumupukan tanaman pertaniannya.

"Karena tidak kebagian pupuk subsidi, solusinya pasti membeli pupuk non subsidi. Karena harganya sangat tinggi, rasanya pesimis bisa untung saat panen. Sebab biaya produksi tinggi, tapi saat musim panen harga cenderung jatuh," tandasnya.

Senada diungkapkan Sukir, petani asal Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo. Dia mengaku, hingga kini baru mendapatkan satu sak pupuk Urea. Dengan harga Rp125 ribu. Padahal pupuk yang seharusnya dicukupi untuk kebutuhan pertanian sebanyak tujuh kuintal.

"Untuk mencukupi kebutuhan pupuk, saya harus pontang panting koordinasi dengan sanak keluarga. Tapi kadang juga tidak berhasil, karena dibuat mupuk sendiri," ujarnya.

Petani desa ring satu lapangan Gas Jambaran-Tiung Biru (JTB) ini berharap, pemerintah dapat memikirkan nasib para petani. Artinya segala kebutuhan petani tercukupi. Utamanya kebutuhan pupuk. Dengan begitu para petani bisa memproduksi pertanian dengan baik. Sehingga dapat meningkatkan ekonomi para petani. Karena pertumbuhan tanaman baik, dan tentunya hasil panen yang didapatpun bisa sesuai harapan.

"Kalau zaman dulu itu pupuk sangat gampang, tidak ruwet seperti ini. Sekarang sudah sulit, harga selangit bikin petani menjerit. Mudah-mudahan pihak penentu kebijakan segara mencarikan solusi, sehingga pupuk tidak sulit petani tidak mengeluh lagi," imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Sarana, Prasana, dan Perlindungan Tanaman Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bojonegoro, R.A Retno Budi Widyanti mengatakan, bahwa sesuai Sistem e-RDKK (elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) kebutuhan pupuk urea bersubsidi sebanyak 101.026 ton. Namun alokasinya hanya sebesar 72 persen atau sebanyak 73.631 ton.

Dari alokasi itu sudah terdistribusi sebanyak 59.507 ton atau mencapai 80,82 persen. Sedangkan untuk pupuk NPK, kebutuhan yang dibutuhkan berbanding alokasi justru lebih rendah lagi. Yakni sebanyak 113.266 ton berbanding 45.300 ton atau hanya mendapat alokasi 39 persen. NPK ini telah tersalur sebanyak 35.115 ton atau mencapai 77,52 persen.

"Sebagai solusinya, untuk pembelian pupuk non subsidi dan benih ada dukungan dari pemerintah berupa PPM (Program Petani Mandiri)," katanya kepada SuaraBanyuurip.com, Senin (21/11/2022).

Dijelaskan, bahwa alokasi pupuk untuk kebutuhan selama satu tahun tersebut telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Pembatasan ini berdasar arahan Pemerintah Pusat agar mengoptimalkan penggunaan pupuk organik.

"Optimalisasi pupuk organik ini bisa dengan pembuatan pupuk kompos, pupuk cair misalnya. Dan untuk ini tidak dibebani ijin edar," ujarnya.

Disinggung perihal Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi, untuk urea Rp2.250 per kilogram. Sedangkan NPK Rp2.300 per kilogram. Sebaliknya, belum ada aturan HET untuk pupuk non subsidi dari Pemerintah. Sehingga rentang selisih harga antara kedua versi pupuk itu terpaut sangat jauh.

"Sebetulnya, pupuk organik ini tujuannya baik, untuk mengembalikan unsur hara pada tanah. Setidaknya perlu paling lama satu sampai dua tahun. Produksi memang akan turun saat itu, tapi setelah itu akan lebih bagus daripada penggunaan pupuk kimia," tandasnya.(fin/sam)

Kredit

Bagikan