Nunuk Fauziah : RUU TPKS Jangan Hanya Melindungi Korban

user
teguh 31 Januari 2022, 16:11 WIB
untitled

SuaraBanyuurip.com - Teguh Budi Utomo

Jakarta - Selain menekankan subtansi dari segi pencegahan, perlindungan korban, hingga pengaturan pidananya, sangat perlu mencermati bagian subtansi penting lainnya. Yakni  perlu adanya BAB tersendiri yang mengatur tentang hak-hak siapa saja yang diatur dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), seperti korban, keluarganya, saksi, ahli, dan pendamping korban.

"Mengapa perlu diatur dalam BAB tersendiri, karena sebagai penentu keberhasilan dan kemanfaatan elemen kunci lainnya yang diatur dalam RUU TPKS, yaitu pemidanaan, hukum acara khusus, akuntabilitas peradilan, dan pencegahan kekerasan seksual," demikian penegasan, Nunuk Fauziah, dari Dewan Pengarah Nasional  Forum Pengada Layanan (DPN FPL) saat dimintai komentar  Suarabanyuurip.com terkait agenda pemerintah yang tengah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) setelah menerima dokumen RUU TPKS dari DPR, Senin (31/1/2022).

Menurut perempuan aktifis ini, mengapa tak hanya hak korban saja yang diatur, lantaran hak keluarga korban, saksi ahli, dan pendamping merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam upaya pelindungan dan pemenuhan hak korban. Jika tak ada, akan berpengaruh pada kemampuan korban dalam mengakses layanan penanganan, perlindungan, pemulihan, maupun dalam menjalani proses peradilan.

"Subtansi yang saya sampaikan ini adalah murni temuan-temuan di lapang, saat kawan-kawan pengada layanan melakukan proses-proses pemberi layanan pendampingan pada korban," ujar Direktur LBH KP Ronggolawe, Tuban, Jatim itu panjang lebar.

Ia paparkan, pentingnya ketentuan tentang hak Ahli dan pendamping karena temuan di lapangan selama ini, ahli juga mendapatkan ancaman, serangan fisik, dan melalui judicial harassment. Akibatnya  banyak ahli berpikir ulang untuk menjadi ahli.

Buntutnya para korban memiliki hambatan untuk menghadirkan ahli. Situasi ini akan berpengaruh pada proses-proses penentuan hak korban dalam persidangan.

Sisi lainnya adalah hak pendamping. Perlindungan terhadap hak pendamping akan memberikan dampak pada kekuatan, keberanian, kemampuan, dan emansipasi korban dalam mengakses hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan. Termasuk dalam menempuh proses peradilan.

"Ketentuan hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli merupakan upaya memberikan perlakuan khusus untuk mendapatkan persamaan akses dan manfaat di depan hukum," kata Nunuk Fauziah.

Kapan hak-hak untuk mereka  diberikan, menurut Nunuk Fauziah, pelaksanaan hak Korban, keluarga korban, saksi, ahli, dan pendamping merupakan kewajiban negara yang diberikan sejak diketahuinya, dilaporkan atau diadukannya kasus TPKS. Hak ini harusnya juga tetap diberikan  hingga setelah proses peradilan.

"Pemenuhan hak untuk mereka diberikan sesuai kebutuhan dan persetujuan korban, keluarga korban, dan atau saksi," tambahnya.

Sedangkan pemenuhan korban, keluarga korban dan saksi dilakukan berdasarkan; 1. Permohonan korban, keluarga korban, 2. Rujukan, 3. Informasi TPKS dari perangkat desa/kelurahan, tokoh agama, tokoh adat atau pihak lainnya di masyarakat, dan 4. Informasi ke lembaga penyedia layanan, dan lembaga non peradilan.

Untuk itu, Nunuk mengajak kawan-kawan seperjuangan dan masyarakat, korban/penyintas, pendamping, dan media terus mengawal subtansi RUU TPKS agar pemerintah mengakomodir enam elemen kunci.

Elemen tersebut terkait dengan 11 jenis TPKS. Yakni, 1. Pelecehan seksual non fisik, 2. Pelecehan seksual fisik, 3. Pemaksaan kontrasepsi, 4. Pemaksaan aborsi, 5. Pemaksaan perkawinan, 6. Pemaksaan hubungan seksual, 7. Eksploitasi seksual, 8. Pemaksaan pelacuran, 9. Perbudakaan seksual, 10. Penyiksaan seksual, dan 11. Kekerasan Seksual yang difasilitasi dengan transaksi elektronik atau dokumen elektronik.

Sementara itu, dalam rilis dari Kantor Staf Presiden (KSP) RI yang diterima Suarabanyuurip.com, Kepala Staf Kepresidenan RI, Dr. Moeldoko, memotivasi tim Gugus Tugas RUU TPKS agar dalam menyusun DIM bisa membaca titik-titik yang perlu disempurnakan dari  RUU TPKS. Sehingga pada saat nanti disahkan, akan terlahir produk hukum yang paripurna.

"Secara substansi harus bisa menjawab seluruh persoalan, baik dari segi pencegahan, perlindungan korban, hingga pengaturan pidananya," tegas Moeldoko, saat membuka konsinyering penyusunan DIM RUU TPKS di Jakarta, Senin (31/1/2022).

KSP menggelar konsinyering terkait penyusunan DIM RUU TPKS. Perhelatan ini melibatkan Kemenkum HAM, Kemen PPA, Kemensetneg, Kejagung, Polri, dan sejumlah lembaga terkait.

Moeldoko juga berharap, gugus tugas RUU TPKS segera bergerak untuk melakukan diskusi publik bersama kelompok-kelompok strategis yang suaranya perlu didengar. Hal itu sebagai bahan dalam penyempurnaan DIM.

“Jangan sampai teriak-teriaknya nanti setelah RUU diundangkan. Lebih baik, kita berdebat berdarah-darah sekarang ketimbang nanti setelah semuanya disahkan,” kata Moeldoko dengan nada sedikit meninggi.

Sebelumnya, dalam sidang paripurna pada Selasa (18/1), DPR mensahkan RUU TPKS  menjadi hak inisiatif DPR. RUU  tersebut kemudian diserahkan kepada Presiden untuk diterbitkannya Surat Presiden (Surpres).

Sesuai perundang-undangan, Presiden memiliki waktu maksimal 60 hari untuk mengirim Surpres ke DPR berikut DIM, terhitung sejak RUU TPKS disahkan menjadi hak inisiatif DPR. (tbu)

Kredit

Bagikan