Pengamat Energi dan Puteri Indonesia Mendorong Energi Baru Terbarukan

user
samian 20 Juli 2020, 13:16 WIB
untitled

SuaraBanyuurip.com - Samian Sasongko

Jakarta - Alam tak selalu bersahabat dengan lingkungan, namun acap kali juga bisa memunculkan dampak yang menyusahkan bagi manusia. Di tahun 2020 yang disambut dengan banyak hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran hutan dan lahan di Australia, banjir Jakarta di malam tahun baru, dan wabah Corona atau Covid-19 membuat beberapa negara kalang kabut, misalnya.

Banjir Jakarta dulu 10 tahun atau 20 tahun sekali lama-lama menjadi 5 tahun sekali dan bahkan sekarang terjadi dalam setiap tahun. Banyak faktor sebab terjadinya banjir satu diantaranya adalah kenaikan permukaan laut, “sea level rise,” dan lain sebagainya.

"Tidak bisa dipungkiri fenomena-fenomena alam seperti ini," kata Vania Fitryanti Herlambang, saat memberikan Opening dan Closing Statement di acara, “The Importance of Renewable Energy on Our Environment,” yang diadakan oleh Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), English Brothers, Asosiasi Alumni MSU, dan APIK Indonesia Network, Minggu 19 Juli 2020.

Puteri Indonesia Lingkungan 2018 ini menambahkan, pandemi COVID-19 menyebabkan kita semua untuk WFH yang akan mengurangi polusi dan emisi. Dampak ke lingkungan akibat COVID-19 cenderung baik dan positif termasuk terhadap pilar lingkungan di dalam SDGs mengenai emissions, climate change, dan biodiversity. Hanya saja sifatnya untuk sementara dan tidak permanen.

“Kita harus memegang SDG dan merubah kegiatan-kegiatan kita," tandasnya.

Indonesia harus beralih ke energi bersih yang berkelanjutan. Harga EBT lebih murah sekarang dibandingkan sebelumnya.

“Ada banyak yang bisa dilakukan untuk berkontribusi terhadap perkembangan EBTKE," imbuhnya.

Sementara pembicara tunggal diacara tersebut, Satya Hangga Yudha Widya Putra, Co-Founder Indonesian Energy and Environmental Institute, Ketua Bidang ESDM Rumah Millennials, dan Presiden Asosiasi Alumni MSU menjelaskan, di abad yang ke-21, secara global, diprediksikan kedepannya bakal ada peningkatan dalam penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dari 571 Million terajoules di tahun 2016 ke 650 Million terajoules di tahun 2050 (peningkatan sebesar 14%). Permintaan global untuk batu bara dan minyak akan mencapai puncaknya 15 tahun dari sekarang sedangkan gas dan EBT tetap meningkat.

“Setelah tahun 2035 lebih dari 50% pembangkit listrik global berasal dari EBT," jelas pria yang karib disapa Hangga, melalui pesan WhatsApp kepada Suarabanyuurip.com, Senin (20/7/2020).

Di dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) (PP 79/ 2014) Indonesian ingin memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, meminimalkan penggunaan minyak bumi, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru, menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional, dan juga menggunakan nuklir sebagai pilihan terakhir.

Ada banyak sekali dampak lingkungan dan risiko perubahan iklim dari energi fosil. Sektor energi merupakan sektor terbesar kedua yang berkontribusi terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca. Untuk mencapai Kesepakatan Paris (UU NO. 16/2016) dimana kita harus menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan Internasional harus ada penurunan sebesar 314 - 398 Juta Ton CO2 pada tahun 2030.

"Tindakan mitigasi yang perlu dilakukan adalah pengalihan anggaran subsidi bahan bakar ke kegiatan produktif seperti infrastruktur, 23% EBT dari total campuran energi primer nasional pada tahun 2025 (sekarang masih 9,15%), dan Waste to Energy (WtE)," ujarnya.

Di ungkapkan, penurunan emisi sektor energi di tahun 2018 sebesar 54,8 Juta Ton CO2e diatas target (50,80 Juta Ton CO2e). Permintaan energi di Indonesia bisa dipenuhi dengan EBT. Eksekutif harus segera mengeluarkan Perpres EBT dan Legislatif mengesahkan RUU EBT untuk mempercepat perkembangan EBT di Indonesia dan memastikan hukum investasi di Indonesia.

"EBT adalah sumber energi masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan dapat menekan impor bahan bakar minyak (BBM)," pungkasnya.(sam)

Kredit

Bagikan